Pertemuan ke 14
A.
FENOMENA
GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Lukisan
gunung kembar di tengahnya ada matahari kemudian ada gambar beberapa burung
terbang dihiasi dengan hamparan sawah dan jalan tampaknya sampai detik ini
masih menjadi topik karya lukis anak-anak Indonesia. Karya itu muncul sekitar
dari era tahun 40-an, tapi sampai hari ini masih banyak dijumpai
lukisan-lukisan itu di ruang sekolah anak-anak SD. Regenerasi lukisan gunung
kembar bisa berjalan lama dan meluas di pelosok nusantara. Salah satu alasannya
adalah anak-anak memang memiliki daya rekam yang tinggi, pantas mereka menjadi
peniru. Kreasi mereka dalam melukis gunung kembar tidak lepas dari peran guru
yang barangkali memberikan doktrin untuk menggambarnya melalui apa yang dia
contohkan lewat papan tulis. Guru ini yang masa kecilnya juga demikian mencoba
untuk mentransformasikan apa yang sudah dia dapat di masa lalu kepada anak-anak
didiknya sehingga hal ini akan terus berkesinambungan dari generasi ke
generasi.
Uraian
diatas dapat ditangkap bahwa pengajaran yang sedemikian rupa dilakukan oleh
guru belum mampu menunjukkan cara menanamkan kretivitas bergantung pada
imajinasi anak-anak itu sendiri, dilain aspek anak-anak secara umum akan
menerima perintah guru dan mengikuti pola penggambaran yang dicontohkan tanpa
memikirkan topik lain yang seharusnya lebih bisa meningkatkan daya kreativitas
dengan ditunjukkan melalui cara menggambar mereka masing-masing.
B. BEBAN DALAM POLA GUNUNG KEMBAR
Kondisi
umum yang kerap ditemukan dalam pola gambar anak “gunung kembar” yaitu dua
bidang luas yang sulit di taklukkan oleh anak-anak, bidang luas ini memerlukan
pengerjaan yang menguras energi dan pikiran anak. seorang anak yang ingin
menggambakan kedua bidang tersebut memiliki pemikiran “bagaimana saya
mengisi/memenuhi lahan luas yang ada di muka gunung hingga kaki gunung?”. Kesadaran
bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang amat luas, amat jauh,
memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak objek dalam dua
bagian lahan tadi.
Bagi
anak-anak sekolah TK dan SD tingkat awal, memenuhi ruang gambar itu terasa
lebih mudah, dapat dipenuhi hanya dengan jalan raya, danau/lautan, sawah,
pasar, rumah dll (pola gambar “gunung kembar”). Tetapi bagi anak-anak SD (kelas
5 dan 6) dan remaja (SMP dan SMA), mereka dibebani oleh 'keharusan' mengisi
ruang dengan objek gambar yang "rasional". Beban inilah yang kerap
dikeluhkan oleh anak-anak dan remaja yang sejak awal hanya bisa menggambar
mengikuti pola "gunung kembar".
Hal
yang perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang
dihadapi anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar
"gunung kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi
begitu banyak objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan
imajinasi. Jalan keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola
perspektif objek, bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama
semuanya. Objek-objek selalu menempati ruang yang berbeda (contohkan dengan
melihat benda-benda sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat
langsung alamnya. Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan
dengan pertimbangan rasio.
C. KEMBALI KE GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Dalam
sebuah penelitian Quasi Eksperimental mahasiswa bernama Budiaprillia yang
dilakukan pada 2 kelas PAUD ditemukan suatu permasalahan dalam kegiatan
ekstrakulikuler menggambar, bahwa Anak usia dini ketika diajak melakukan
kegiatan menggambar kerap mengajukan sanggahan berupa kalimat: “Tak bisa
menggambar Bu,”; “Gambar apa Bu?”; “Bagaimana caranya Bu?”; “Beri contohnya
Bu!” dan kalimat sejenisnya yang menunjukkan bahwa anak-anak kurang percaya
diri. Data awal (dawal) yang bisa dia kumpulkan, guru PAUD biasa mengajar
anak-anak dengan pola dikte. Anak-anak menggambar mengikuti tutorial guru
langkah demi langkah, siswa PAUD yang biasa dipandu dengan pola tersebut,
selalu meminta panduan guru ketika mereka harus menggambar.
Budiaprillia
ingin mengubah cara ajar itu dengan cara ajar yang dipandang dapat lebih
efektif memberi pengalaman belajar yang nyaman bagi anak-anak, pola copy the master yang di dalam sejumlah
sumber bacaan telah lama digunakan di dunia kesenirupaan Timur. Sebaliknya,
dalam teori mengajar menggambar versi Barat pernah disebutkan bahwa kegiatan
meniru adalah pembiasaan buruk yang tidak mendukung ajaran kreativitas bagi
siswa. Intinya, teori pembelajaran seni rupa Barat dimotori dengan segala
langkah kebebasan berekspresi, ajaran persuasif, hingga “pengharaman” kegiatan
meniru.
Dalam
kegiatan penelitian Budiaprilliana, pembelajaran seni rupa pola dikte
dibandingkan dengan pola copy the master. Kegiatan tersebut diulang
masing-masing dalam 8 kali pertemuan pembelajaran. Materi ajar disesuaikan
dengan materi resmi sekolah yang telah diatur secara kurikulum. Kelompok
kontrol tetap mengikuti pola pembelajaran dikte, sementara itu kelompok
eksperimen dikondisikan dengan pembelaran pola copy the master. Yang disebut
gambar master adalah gambar yang telah jadi yang dibuat oleh peneliti, yang
dijadikan pemancing kreativitas siswa. Gambar dengan pola dikte adalah gambar
yang dibuat oleh peneliti di papan tulis secara bertahap untuk diikuti langkah
demi langkah oleh siswa.
Pada
pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan perlakuan yang berbeda kepada kedua
kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk menggambar tanpa tema dan tanpa
contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang
menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional” anak-anak
Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!
Siswa
pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan
dengan latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang
mengintip di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda.
Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di antaranya menggambar pemandangan dengan
latar gunung kembar, sisanya menggambar tema-tema lain yang beragam. Kenyataan
ini membuktikan bahwa gambar pemandangan yang dilengkapi dengan gunung kembar
sangat melekat sebagai ciri gambar yang biasa dibuat oleh anak-anak Bali.
Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan gambar karya anak-anak Indonesia
lainnya.
Gambar
pola gunung kembar memang arketif gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak
berkebutuhan khusus dengan spesifikasi retardasi mental pun menggambar
menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan anak-anak normal. Berulangkali
surfing mencari gambar anak-anak di luar Indonesia, hingga kini belum menemukan
gambar dengan pola pemandangan dengan latar gunung kembar. Hal ini semakin
jelas mengindikasikan bahwa gambar pola gunung kembar adalah ciri khas gambar
anak-anak Indonesia.
·
Arbow. “Fenomena Gambar Gunung Kembar”.
Dalam http://seruindonesia.blogspot.co.id/2014/04/fenomena-gambar-gunung-kembar_4199.html.
Diunduh pada 19 April 2014. Diakses pada 8 Juni 2017.
·
Suryana, Jajang ”Beban Dalam Pola Gambar
Gunung Kembar”. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.co.id/2010/01/beban-dalam-pola-gambar-gunung-kembar.html.
Diunduh pada 2 Januari 2010. Diakses pada 8 Juni 2017.
·
Suryana, jajang. 2015. “Kembali Ke Gambar Gunung Kembar”. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.co.id/2015/08/kembali-ke-gambar-gunung-kembar.html. Diunduh pada 10 Agustus 2015. Diakses pada 8
Juni 2017.
Komentar
Posting Komentar